Halaman

9.30.2011

Orang Bali Belum Siap Tinggal di Bali


Kemarin, beberapa perawat bertanya : "Dok, rencana kerja di mana?"
Wah, rasanya kuncup-kuncup bunga dalam hatiku mekar saat ditanya dengan menggunakan titel D-O-K (dengan huruf K di belakangnya, bukan G, ok).

"Rencananya ingin ke luar Bali, mungkin ke daerah timur."
Yah, namanya juga rencana. Bisa saja berubah di tengah jalan, to.

"Wah, kok jauh dok. Kenapa tidak di Bali saja?"
"Di Bali sudah penuh dokter soalnya, ya dok?", kata perawat satunya.

Kujawab saja dengan sedikit "guyon" " Bener tu, di Bali sudah banyak dokternya. Lagian, supaya Bali tidak penuh, biar pendatang yang masuk ke Bali, aku pergi keluar Bali. Kan seimbang itu antara pemasukan dan pengeluaran. Tapi, nanti pas aku kembali ke Bali, semua penduduknya malah jadi pendatang ya, ahahaha..."
Setelah aku pikirkan lagi, rasanya perkataan spontanku itu bersumber dari kekhawatiranku terhadap perkembangan di Bali juga. Secara tidak sadar, kekhawatiran itu sudah muncul di dalam hatiku, dan sesekali terletup saat sedang berbicara. Beberapa kali aku berjalan-jalan mengintari kota-kota di Bali, dan pemandangan yang kulihat adalah perubahan areal yang sangat drastis. Perubahan areal ini paling jelas aku rasakan di daerah Badung Selatan (Kuta - Nusa dua - Seminyak - ...). Sebagian besar merupakan daerah dengan pariwisata sebagai akomodasi utamanya. Berlahan demi berlahan, areal ini akan teriris untuk dijadikan tempat pariwisata. Sepetak tanah hilang untuk pembangunan.

:Masa lalu dan Masa kini

Pembangunan di Pulau Bali ini seperti tidak dapat terbendung. Setiap pembangungan baru yang muncul berarti juga perekonomian baru akan berjalan. Uang akan kembali berputar. Tenaga kerja akan semakin banyak terserap. Artinya semakin meningkat pula kualitas hidupnya.

Benarkah?

Seberapa besar manfaat pembangunan itu dirasakan oleh masyarakat Bali? Secara perseorangan atau ...?? Jangan-jangan, yang lebih merasakan manfaatnya justru bukan orang Bali. Tanah sudah mulai habis, keuntungan pun hilang seperti kentut, terdengar suara dan bau nya di awal saja lalu hilang tanpa bekas. Aku jadi teringat dengan cerita guruku tentang orang bali yang menjual tanah sawahnya. Sawah yang sudah diwariskan turun temurun akhirnya jatuh juga ke penjual dari negeri antah berantah dengan harga yang lumayan di kala itu. Harga yang cukup untuk menyilauka mata, sampai melepaskan tanah warisan turun temurun dan mungkin dapat terus berfungsi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Setelah uang didapatkan, mulailah masa hedonisme. Beli motor, TiPi, Rice cooker, segala tetek bengek yang (rasanya) dibutuhkan oleh anggota keluarga. Tak perlu menunggu tahun baru berikutnya tiba,  uang itu pasti sudah habis.
(Guruku melanjutkan, seandainya orang bali melek finansial, akan lebih bagus jika uang itu dimasukkan ke dalam deposito lalu setiap bulan menikmati bunganya saja. Dengan bunganya itu, tentu sudah cukup untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Di tambah lagi dengan kerja sampingan, pasti semakin mudah tercukupi kebutuhannya.)

Masalahnya mungkin jauh lebih kompleks di Bali ini. Tidak serta merta oleh karena faktor pendatang saja, faktor masyarakat (pola pikir dan beberapa adat istiadat) juga berpengaruh pada minimnya keuntungan dari pembangunan. Beberapa owner usaha akan sangat mempertimbangkan tingkat kedatangan karyawan, suatu hal yang sering kali susah untuk terpenuhi bagi orang Bali dengan tingkat upacara adat yang tinggi (sehingga sering kali orang bali meminta ijin untuk menghadiri acara keagamaan). Masalah ini tentu bisa diatasi dengan pendekatan kekeluargaan. Anggaplah hanya masalah kecil saja.

Yang lebih urgen bagi aku adalah masalah pendidikan di Bali ini. (Pendapatku pribadi) Pendidikan yang meningkatkan kualitas sebagai manusia rasanya masih kurang. Artinya, pendidikan yang mencerdaskan dan meningkatkan moral manusianya. Tolak ukurku sederhana, seandainya pendidikan di Bali ini sudah baik, tentu jumlah pengangguran akan menurun, tingkat korupsi di birokrasi akan menurun, dan kebodohan hanya sekedar menjual-jual tanah akan menurun, dan kebiasaan hedonisme di masyarakat Bali bisa menurun. Kita bisa mengambil keuntungan dari pembangunan yang menggila di Bali ini.
Sudah ada keinginan seperti itu, ga, di Bali ini?
Sepertinya masih sekedar omongan kosong saja dari aku. Masalah pendidikan ini tidak sekedar masalah di Bali saja, tetapi di seluruh daerah yang bernaung dalam kibaran merah putih. Mestinya Bali bisa menunjukkan nuansa pendidikan yang berbeda dibandingkan kebobrokan pendidikan nasional. Bali memiliki kebudayaan akan seni yang tinggi, sehingga mengimbangi pendidikan yang sekedar berorientasi pada intelektualitas. Sayangnya, pusaran kebobrokan itu sudah sampai di Bali. Mungkin dibawa oleh para penentu kebijakan di Bali yang lebih dulu ikut bobrok? Atau oleh para guru yang bobrok karena mendapatkan ilmu bobrok sebelumnya? Atau malahan karena tekanan dari orang tua yang bobrok kepada anaknya sehingga anak sebagai peserta didik masuk dalam pusaran ke-bobrok-an?
Berarti aku juga ikut, donk???

: Tidak ada yang menghalangi untuk belajar, tidak pula kehilangan gigi... Tetap Semangat!

Intinya jelas, orang Bali secara keseluruhan harus disiapkan dulu. Harus sadar dulu. Seperti maju dalam ring tinju, semua persiapan harus ready. Seandainya masih mengantuk dan setengah sadar, sudah pasti Jap dari "kegilaan" pembangunan ini akan merobohkan orang bali. Jatuh terkapar sampai  menjilati lantai. Aku rasa sekarang orang bali sudah terkena Jap dari pembangunan. Beberapa sudah mulai menjilati lantai dengan makin membludaknya para gepeng di lampu perhentian jalan. Meski terkapar, masih ada kesempatan untuk kembali berdiri. Jangan sampai kita terpukul, lalu KO. Jangan-jangan, saat sadar, kita sudah berada di luar arena pertarungan, sambil melihat Rumah yang bukan milik kita lagi...

So, bagaimana kalau kita merantau, sambil membuka mata dan mempersiapkan diri supaya saat kembali nanti kita bisa memberikan sesuatu yang lebih baik bagi Bali kita?

(Atau malahan saat kembali nanti, semua orang Bali sudah sukses. Banyak yang menjadi owner villa, usaha, dan sarana pendidikan. Pembangunan tertata rapi, sawah-sawah subak masih terpelihara, dan sudah tidak ada lagi gepeng karena semua sudah diayomi dengan baik oleh pemerintah propinsi. Orang-orang kembali ramah dengan senyuman penuh kepuasan. Tidak ada lagi ribut-ribut masalah korupsi di birokrasi karena semua bertobat. Maka, Akupun akan tersenyum, sambil mengatakan kepada diriku sendiri NGIMPIIIII...!!)

Sumber gambar :
1. http://fc05.deviantart.com/fs16/f/2007/197/b/0/Kuta_Bali_by_kinol.jpg
2. Personal photo
3. Personal photo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HAPPY COMMENT...