Halaman

9.19.2011

Inikah Wajah Busuk Masyarakat Dewata ?

Pemandangan Pagi di Desa Pengotan
Tampaknya sudah 2 x dalam 3 bulan terakhir nama Bali terkenal di kancah nasional dengan aksi anarki yang melibatkan tewasnya nyawa manusia. Mulai kelihatan-lah wajah Bali yang "arogan" dan penuh dengan kebencian. Barangkali ini merupakan bentuk dari prinsip rwa bineda. Di mana ada yang baik, ada pula yang jahat. Ada keharmonisan, dibalik itu ada juga perpecahan. Perpecahan yang sebenarnya sangat amat bisa diatasi dengan "kepala dingin" sambil minum kopi luwak, dan sekedar bersendau gurau. Rupanya, penyelesaian masalah dengan cara seperti itu sudah mulai luput di beberapa mata masyarakat bali sekarang ini.
Kejadian kerusuhan di Klungkung (17/9) yang menurut berbagai sumber dikarenakan perebutan Pura Dalem, Setra, dan Prajapati membuat miris warga bali yang tidak ada di lokasi kejadian. Bahkan, salah satu teman nan jauh di Sulawesi sana berkata dalam status jejaring sosialnya :
"ada apa ne nyama2 di Bali??" 
Suatu pesan penuh miris dari keluarga besar Bali. Terbersit dalam pikiranku, kenapa masyarakat Bali ikut-ikutan masuk dalam dilema kerusuhan - yang melibatkan tanah 'suci' pula - yang seharusnya dapat diselesaikan dengan mudah? Bukankah masyarakat Bali terkenal akan toleransinya terhadap penduduk yang lain, apakah malahan tidak mampu bertoleransi dengan penduduk sendiri? Belum lagi seni yang mendarah daging dalam dirinya. Kita percaya, seni akan membuat orang semakin halus budi pekertinya dan tajam pikirannya. Kehalusan dan ketajaman itu akan memberikan perilaku hidup yang harmonis. Ke mana semua itu hilang? Satu simpulan yang aku pegang saat ini adalah :  
kita terbutakan dengan mitos keharmonisan dan toleransi masyarakat bali di masa lampau sehingga tidak menyadari bahwa masyarakat kita sudah mulai BANYAK berubah menuju masyarakat yang arogan.

Sehari sesudah kejadian, pada hari minggu (18/9), ada siaran mengenai TRI HITA KARANA di Bali TV. Pembicara tajuk itu adalah seorang wanita muda, mungkin sekitar 25-28 tahunan, dengan wajah yang berusaha menunjukkan ketegasan dan keyakinan saat membacakan makna TRI HITA KARANA. Gelagat malah tampak lucu bagiku saat wajah yang dipaksakan menjadi tegas itu membacakan alur demi alur makna TRI HITA KARANA. Dia sungguh tidak perlu memperlihatkan wajah serius dengan lesung bibir yang kendur ke bawah seperti itu. Semestinya dia lebih santai sehingga akan lebih manis rupanya, dan tentu aku akan lebih mudah menikmati tajuk di siang itu.


Ada yang menarik saat mendengarkan penjelasan TRI HITA KARANA dan bagaimana pemahamanku selama ini. Tri Hita Karana bagaikan suatu pedoman hidup manusia mengenai hubungannya dengan lingkungan, sesama manusia, hingga kepada Sang Pencipta. Ketiga hubungan itu tidak dapat terpisahkan, karena menjadi penopang satu dan lainnya. Menjadi baik denga lingkungan, berarti menjadi baik pula dengan Tuhan yang menciptakannya, sehingga menjadi baik pula bagi sesama yang mendapatkan kesegaran dari lingkungan itu. Begitu pula menjadi dekat dengan Tuhan dengan bersembahyang hampir setiap hari, berarti menjadi dekat pula dengan sesama manusia yang merupakan bentuk dari karya Tuhan. Jelas, bukan, kalau semuanya begitu terikat dan meneguhkan. Konsep TRI HITA KARANA ini tentu akan melahirkan bentuk pola hidup harmonis dan toleransi yang dirasakan DULU oleh masyarakat Bali.

Bagaimana dengan sekarang? Terjadinya bentrokan antar warga Bali yang nota bene "menyama braya" berarti merusak mata rantai hubungan TRI HITA KARANA.  Toleransi dan keharmonisan yang terjaga apik mulai digigiti sendiri. Hebatnya, masalah justru di kambing hitamkan pada komflik tempat "suci". 
Apa maksudnya dikambing hitamkan ?
Ya jelas saja salah satu pihak akan berkata : saya melakukannya supaya saya dapat melakukan persembahyangan dengan baik karena sudah jelas ini adalah pura dalem kami. bukankah itu mencari kambing hitam atas masalah yang timbul. Istilahnya, mencari rasionalisasi untuk bisa bentrok!

Semestinya semua yang bentrok kemarin itu malu! Tidak perlu lagi bermunafik ria dengan bersembahyang kepada Tuhan yang Maha Esa, karena semua itu menjadi kemunafikan ganda. Pertama, munafik kepada sesama manusia supaya dilihat masih beriman; kedua, munafik kepada Tuhan juga. Dengan mulai mengangkat pedang dan segala senjata tajam kepada saudara sendiri, berarti juga mengangkat senjata tajam kepada alam sekitar dan juga Tuhan. Semua jadi gelap mata. Semua mengucapkan "selamat tinggal" kepada pedoman hidupnya. Yah, ini adalah satu tahap lagi dalam kisah kepunahan masyarakat bali.

Masyarakat bali harus kembali ingat pada pribadinya yang luhur. Tantangan hidup saat ini tidak hanya dari luar masyarakat bali, tetapi juga dari antara masyarakat bali. Bayangkan saja nanti saat sebagian besar tanah bali sudah dimiliki orang yang tidak lagi bernama Made, Komang, Ketut, tetapi justru Michael, Doglas, Jack, di mana lagi masyarakat bali harus mencari Pura Desa, Setra, atau Prajapati? Kalau masih bertindak seperti di Klungkung, bisa jadi akan muncul bentrokan untuk memperebutkan tempat-tempat itu yang mulai susah untuk dibangun. Yah, itu artinya tinggal menunggu kepunahan masyarakat bali saja...
Ah, apa yang kukatakan ini barangkali sebagian besarnya hanyalah omong kosong. Perkataan yang cepat hilang bagaikan kentut bernada tinggi. Tidak ada bukti yang mendukung semua omong kosongku ini. Setidaknya, jika kamu masyarakat bali (yang begitu mencintai bali), berlakulah sebagai orang bali yang benar!
Juga buat diriku ini!

Sumber gambar :
1. Personal photo with Kodak
2. http://cms.jakartapress.com/files/news/201109/bali%201.jpg

Link terkait :
http://nasional.vivanews.com/news/read/248156-polri--beda-tradisi-penyebab-rusuh-klungkung
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/09/09/260355/290/101/Warga_Klungkung_Bentrok_Puluhan_Luka-Luka
http://berita.liputan6.com/read/353986/bentrokan-warga-di-klungkung-merugikan-bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HAPPY COMMENT...