Halaman

6.20.2011

TKI Dibunuh, Negara Mengaduh



Hukum yang Menertibkan, Hukum yang Memusnahkan
Saat kita duduk sambil menikmati makanan, seseorang mulai diseret ke meja hukuman. Saat kita sedang menonton cerita lucu di televisi, seseorang sedang menunduk diselimuti ketakutan. Dan, saat kita merasa lelah kemudian berbaring tertidur, seseorang telah meletakkan kepalanya lepas dari leher, dan menjadi seonggok mayat. Realitas dunia yang terjadi pada sabtu 18/6/2011 saat ibu Ruyati binti Satubi, seorang TKW asal Banten-Jawa Barat, dihukum pancung di Arab Saudi dengan dakwaan membunuh majikannya.

Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Setiap negara memiliki aturan main sendiri. Begitu pula di Arab Saudi, tempat bu Ruyati dieksekusi.

Sebenarnya hukum pancung bukanlah hukum yang asing di Indonesia. Jaman kerajaan dan penjajahan Jepang dulu, pancung merupakan salah satu hukuman, yang sangat ditakuti. Namun, seiring dimulainya era suatu Negara yang BERADAB, maka hukuman pancung mulai ditinggalkan. Seiring waktu, hukuman mati pun di"kurangi" dengan alasan hidup seseorang adalah seseuatu yang berharga dan tidak dapat ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh Tuhan. Seolah ingin berkata "Kalau mau mati, biarlah Tuhan yang menurunkan hukuman". Paling "banter" di Indonesia hukumannya adalah seumur hidup. Meskipun, kita dengarkan sebelumnya, hukuman mati diberikan kepada Amrozi CS karena tindakannya dirasa amat berat.

Bagaimana dengan ibu Ruyati, TKW asal Indonesia yang katanya membunuh majikannya? Hukum itu tidak membedakan status. Barangkali prinsip itulah yang dapat dikatakan sebagai hukum sejati. Namun, hukum juga hendaknya tidak memihak. Saat keputusan akan diberikan, hendaknya sudah sesuai dengan bukti yang cukup dan valid. Saya bukanlah ahli hukum. Sungguh. Dan saya yakin setiap penulisan ini hanyalah opini saya belaka tanpa didasari oleh bukti yang cukup dan valid. Namun, perkenankan saya berpendapat mengenai masalah hukuman ini.

Pertama, mengenai dugaan membunuh majikan. Setelah kemarin menonton di televisi, khususnya di dua stasiun TV, yaitu TV One dan Metro TV, saya mulai berpikir, bagaimana seorang ibu yang sudah 2 kali sebelumnya pergi menjadi TKW di Arab Saudi (dan merencanakan untuk menjadikan perjalanan ini perjalanan kerja yang terakhir untuk menghabiskan masa hidupnya di rumah bersama keluarga) membunuh majikannya secara sengaja? logika saya, seseorang yang pergi jauh (amat jauh) dari rumah untuk bekerja tentu memiliki impian yang sangat besar dan sangat mendalam. Demi impiannya itu dia rela jauh dari keluarga selama 12 bulan an. Itu waktu yang lama. Impian yang sudah bulat dan melekat erat itu, bagaimana bisa dibuyarkan dengan tindakan membunuh majikan? Bukankah tindakan "membunuh" itu justru akan menghancurkan seluruh impian yang sudah direncanakan. Alasan yang terpikirkan oleh saya adalah : ada trigger sehingga ibu Ruyant begitu terdesak hingga harus melakukan tindakan itu. Perlu digaris bawahi "begitu terdesak". Seseorang yang ingin kencing tetapi dikejar oleh singa, akan lebih memilih untuk lari dibandingkan berhenti sebentar untuk kencing. Situasinya terdesak. Taruhannya apa? Nyawa! Bisa jadi, taruhan ibu Ruyani juga adalah nyawa saat itu. Tapi seperti apa situasinya saat itu? Maaf, saya tidak tahu. Saat ini hanya Tuhan yang tahu karena kita tidak dapat menanyakan kepada ibu Ruyati.

Pemikiran yang lain mengenai pembunuhan ini adalah adanya konspirasi untuk memojokkan para TKW asal Indonesia sehingga sedikit demi sedikit akan terbangun opini di negara Arab Saudi bahwa TKW Indonesia adalah pembunuh majikan. Hmm, saya rasa ini opini hanya berdasarkan film fiksi belaka. Namun, bisa sebagai pertimbangan pula. Sebagai gambaran saja, dari data dinas tenaga kerja, jumlah TKI yang dikirimkan ke Arab Saudi mencapai 1,5 juta (Tempo Interaktif 10 Juni 2011) dengan 90% bekerja di sektor informal, yaitu pekerja rumah tangga. Sektor ini tentu adalah peluang bisnis bagi sebagian orang/negara. Di dalam dunia bisnis, kadang kekerasan dan fitnah dapat digunakan.

Kedua, mengenai jenis hukuman. Sekali lagi, saya bukan ahli hukum, sehingga saya tidak begitu paham bagaimana hukum dijalankan di Arab Saudi. Saya ingat suatu kali seorang guru sosiologi pernah mengatakan : hukum itu dapat dipertimbangkan dari hasil tindakan, dan juga proses tindakan. Barangkali, untuk kasus ini, hukuman dijatuhkan hanya pada hasil dari tindakan yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Seperti suatu hukum di jaman purba dulu = telinga ganti telinga. Sebegitu beratnya sehingga orang seperti saya pun akan berpikir satu juta lebih satu kali untuk melakukan kejahatan di sana (dan saya yakin ibu Ruyati pun demikian). Tapi, apakah hukum ini merata bagi seluruh warga yang hidup di Arab Saudi? Termasuk bagi masyarakat Arab Saudi yang melakukan kesalahan juga?? Cuma ingin memastikan, apakah hukum itu dilaksanakan sama antara orang Arab dan non-Arab. Pikiran picik saya berkata : Jangan kira keyakinan (agama), suku, atau garis darah yang menyatukan seseorang, melaikan kepentingan. Kepentingan itu juga yang bisa menarik hukum ke arah yang dikehendaki. Sapa tahu seperti itu, ini hanya opini saja. Sebab, sampai saat ini belum ada pernyataan resmi apakah saat diadili bu Ruyati didampingi oleh pengacara. Bagaimana bisa bu Ruyati membela diri jika tidak ada yang mendukungnya? Bagaimana juga bisa menunjukkan kebenaran kalau tidak ada pembanding cerita dari pihak bu Ruyati?

Ketiga, mengenai advokasi kita dalam jalur diplomatik dan (tampak) kagetnya pemerintah menangani kasus ini. Haloooo... duuuttt. Bagi saya yang "sekilas" menyaksikan ulasan di televisi kemarin, bagaimana mungkin negara kita yang memiliki duta besar di Arab Saudi masih belum juga sigap menanggapi hal seperti ini. Sampai di hukum pancung? Dan hebatnya, berita ini belum pula sampai di pihak keluarga jauh-jauh hari. Kita pun serasa gempar baru setelah pemancungan terjadi. Ohohoho, what's happening here? Apakah kita gerak lambat? Sudah bergerak tapi salah strategi? Atau memang tidak mau tahu ada warga negara yang lehernya sudah di perbatasan dunia-akhirat?
Saya malah menganalogikan seperti ini : salah seorang keluarga saya sedang berada di ujung jurang, di dalam sebuah mobil, sedang berteriak-teriak. Duta Pengawas yang paling dekat dengan jurang itu justru sedang menggunakan head set tebal sehingga suaranya tidak terdengar. Kita, keluarga yang berada jauh dari tempat kejadian itu tentunya tidak tahu. Baru si Duta Pengawas itu memalingkan kepala, mobil itu sudah tinggal terlihat bempernya saja. Mau ditarik juga tidak mungkin. Akhirnya, teriakannya terdengar juga. Karena kita lihat Duta Pengawas yang paling dekat dengan keluargaku itu, tentu aku tanya : kenapa kamu tidak bantu? "Saya sudah membantu dengan semaksimal mungkin."
Gundul mu!
Masih berani bilang menolong dengan maksimal. Pasti sudah kujitak, kulumat, dan kujadikan fosil di Arab Saudi itu pengawas. Biarkan saja jadi minyak bumi "kotor" di sana. Mestinya jika ada waktu yang cukup, dan publikasi berimbang di negara kita, akan ada jalan diplomasi dan advokasi dari berbagai pihak mengenai hal ini. Rasanya, kita kehabisan waktu untuk menolong. Itu mungkin hanya perasaan saya saja. Maklum, saya makhluk perasa.

Bagaimanapun opini ini saya gulirkan, tidak akan mungkin dapat memutar lagi kejadian yang lalu. Bu Ruyati sudah tiada, meninggalkan kesedihan di hati keluarganya. Memberikan tanda tanya yang besar bagi saya, dan juga mungkin beberapa orang di tanah air. Yang terpenting sekarang, bagaimana caranya supaya kejadian ini tidak terulang lagi, baik bagi 23 TKI Arab yang masih bermasalah dan terancam hukuman pancung, maupun TKI lainnya yang punya masalah di negara penerima TKI. Bosan rasanya mendengarkan celotehan tidak bermutu dari semua petinggi negara. Dulu, TKW kita disetrika. Katanya Negara akan semakin melindungi TKW tersebut. Sekarang, setrikanya sudah berubah jadi hukuman pancung! Apa karena setrikanya berubah menjadi hukum pancung sehingga janjinya tidak dapat terealisasi? Seperti asuransi saja.... Jika demikian, buatkan klaim perlindungan TKW atas setrika, pemukulan, penendangan, hukum pancung, hukum cambuk, dan klausul lainnya supaya janji pemuka negara itu dapat terealisasi kepada TKW dalam segala tindak kekerasan.

Ini juga saya pikirkan saat melihat kasus Darsem, salah satu TKW yang masih bermasalah di Arab Saudi. Bayangkan, seandainya di depan matamu ada tawaran diberikan 4,5 Miliar kepada keluargamu jika mau digantikan dengan "kepala"mu, apakah kamu akan menyerahkan kepalamu dengan suka rela? Empat miliar adalah angka yang fantastis! Sayangnya badan ini bukan sesungguhnya milik kita sendiri. Ini hanya pinjaman, yang tidak dapat dijual belikan. Bagaimana kita membawanya di dunia, tergantung pendapat Anda mengenai diri ini.Berapapun harganya, taksebanding dengan seorang pribadi yang bernama Ruyati, Santoso, Yuwono, dan Anda.

Semoga kisah sedih ini tidak sekedar menjadi kisah yang segera terhapus dan terlupakan di Negeri ini. Jangan sampai menjadi Negeri Pelupa, dengan Rakyat Pikun Sentosa. Amit amit.
Jayalah Indonesia


"Jika negara Indonesia (dirasa) gagal melindungi warganya, bisa jadi (kelak) warga gagal mempertahankan negaranya (Save our TKW!)"


yN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HAPPY COMMENT...