Halaman

8.17.2011

Jangan Percaya Kita Sudah Merdeka

: Upacara tidak selamanya harus"tegang" kan bro...

Berapa usia kemerdekaan Indonesia ?

Menurut ilmu hitung dan kepercayaan beberapa orang, usianya mencapai 66 tahun sejak tahun 1945. Sebanding dengan gambaran fisik kakek yang mengeluh sakit rematik, punggung nyeri, dan pegal-pegal. Dinilai dari tujuan kemerdekaan yang tertulis dalam pembukaan Undang Undang Dasar 45, maka usianya tidak lebih dari 12 an tahun, mungkin 14 th. Masa-masa akil balik. Pada saat aku berusia 12 tahunan, orang (yang merasa tua) bilang itu baru seumuran jagung. Baru aku tahu kalau jagung itu perlu menunggu 12 tahun untuk di panen. Hebatnya di negara ini, meski rasanya baru seumuran jagung, penyakit yang muncul seperti (sungguh-sungguh) 66 tahun.

Tanggal 17 Agustus pun seperti sekedar tanggal merah yang selalu diharapkan di bulan Agustus supaya dapat berlibur. Meskipun untuk beberapa orang harus dibayar dulu dengan upacara bendera di pagi hari. Berapa orang yang masih bersemangat untuk mengikuti upacara bendera?? Aku bukan sombong dan congkak, berhubung upacara bendera terakhirku adalah 2 tahun yang lalu, sekarang aku bersemangat untuk upacara bendera. Barangkali yang sudah begitu rutin mengikuti upacara bendera merasa "sudah biasa" setiap kali mengikuti upacara bendera. Seperti kata salah satu temanku, "Rasa nasionalisme-ku tidak diukur dengan mengikuti upacara atau tidak, tetapi sudah ada di dalam hatiku." Langsung dia ngacir pergi jalan-jalan.

Aku bayangkan, seandainya bisa, perayaan 17 Agustus itu dimaknai secara sederhana tetapi mendalam seperti perayaan Nyepi yang berlangsung di Bali. Ada sesuatu yang beda pada hari itu untuk kembali tenang dan merenungkan perjalanan hidup sebagai sebuah bangsa. Idealnya seperti itu.
"Ah, jangan terlalu ekstrim seperti itu. Kenyataan di Bali sekalipun, perayaan Nyepi juga hilang maknanya sehingga beberapa hanya mengenal Nyepi sebagai hari yang Sepi, bukan perenungan.", kata hatiku.

Segala sorak sorai di hari ini sepertinya suatu hal yang sia-sia. Kegembiraan kita bukan sekedar kegembiraan yang muncul di permukaan saja, yang terlihat dari seberapa besar kembang api pecah di langit, atau seberapa banyak motor yang memenuhi jalan saat merayakan kemerdekaan. Eufaria ini justru membuat masalah baru seperti kemacetan, bensin habis uang habis, dan polusi udara-suara-spiritual.

"Heiii, kalau semuanya diam merenung, perekonomian tidak akan jalan kan? Kami tidak dapat kebanjiran untung!" kata para pedagang.

Tentu tetap akan mendapatkan untung. Persiapan perayaan kemerdekaan sudah barang tentu akan menyerap banyak barang. Persiapan untuk merenung juga akan tetap menyerap barang, sehingga perekonomian tetap berjalan. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan untuk hal itu.

: dua begundal yang ikut upacara bendera. Satunya lagi sedang "motrek"

Kesederhanaan perayaan 17 Agustusan salah satunya aku rasakan di Pengotan, tempat pelatihan pra dokter. Tiga orang dari kami, yang masih punya semangat melawan malas dan dinginnya tempat ini, "mampir" untuk upacara bendera bersama anak-anak SD 1 Pengotan. Acara dimulai pukul 09.00, satu jam lebih lambat dibanding yang direncanakan. Udara dingin sungguh menjadi godaan untuk mundur dari keinginan naive ikut upacara bendera. Namun, sudah diputuskan untuk "tidak sekedar menjadi mahasiswa yang menggembor-gemborkan nasionalisme, tetapi untuk upacara bendera saja tidak mau", kata temanku yang tinggi, besar, perut penuh lemak.

Hadir langsung di dalam upacara bendera di SD 1 Pengotan seperti melihat kembali bagaimana aku merayakan upacara `17 an saat masih SD. Biar bagaimanapun inspektur upacara berkicau, pikiranku hanya terpusat pada "kapan semua ini akan berakhir..." Semoga saja pikiran itu sudah tersimpan rapi di arsip kenanganku, dan tidak muncul lagi. Kini, mendengarkan wejangan hangat oleh kepala sekolah di situasi yang dingin ini seperti mengingatkanku kembali bahwa kemerdekaan yang kita idamkan masih perlu dicapai dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu isi wejangan pagi ini mengenai sebuah syair lagu. Ingat lagu lama Koesplus yang syairnya :
Bukan lautan, hanya kolam susu.
Kail dan jala cukup menghidupimu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Pikiranku rasanya melayang-layang kalau menyanyikan syair ini di depan salah satu teman cewekku yang punya..hmm..hm.. Mari kita skip saja keterangan ini.

Betapa terkenalnya kekayaan alam kita ini hingga dengan mudahnya Koesplus menceritakan masyarakat kita mendapatkan segala kebutuhan hidupnya. Tapi, itu lagu lama untuk cerita lama. Kini, sepertinya lautan makin tak ramah, susu-susu mengering, kail dan jala sudah mulai rusak. Kesenangan yang kita rasakan dulu semakin pudar. Mengapa justru seiring menuanya usia kemerdekaan kita kehilangan segala kekayaan alam kita? (If you have any brain to think) There's something wrong with us. Berarti, kembali lagi, kita perlu merenungkan arah kehidupan berbangsa kita. Apakah sudah salah arah, ya?

Saat sedang terbengong memikirkan lirik lagu yang mengingatkanku pada salah satu teman cewekku itu (atau malah memikirkan temanku yang "sesuatunya" disebut dalam lirik lagu itu?), aku terkejut saat kepala sekolah menunjuk kami yang ikut dalam upacara itu. Begini kira-kira katanya :

"Kalian (anak-anak SD kelas 6 khususnya) harusnya malu dengan kakak-kakak dokter yang ikut dalam upacara kali ini. Mereka rela berkorban dari denpasar untuk ikut upacara bendera di SD kita ini. Ini malah anak kelas 6 malah sedikit sekali yang datang"

Seandainya boleh, aku akan tertawa terbahak-bahak saat itu(hahahaha).Pak KepSek barangkali tidak tahu bahwa memang hanya 3 orang begundal ini saja yang masih tersisa, yang memiliki sedikit semangat mengikuti upacara bendera, di antara 40 orang lainnya . Susah sekali rasanya mengajak yang lain untuk ikut upacara bendera, apalagi jika dibandingkan dengan tawaran untuk pulang dan menikmati hari libur ini, bukan. Tidak di dataran tinggi Pengotan ini, tidak di tempat lain. It's the same. Sayang, apresiasi terhadap upacara bendera sudah semakin surut. Time is really changing people.

Aku biarkan pujian itu menghangatkan wajahku yang sedari tadi tersenyum lebar. Rasanya udara dingin saat itu seperti pijatan hangat di kulit. Melayaaaang tinggi ke langit 7 3/4. Pujian ini mungkin basa-basi, tetapi sangat telak menancap di sudut kesombonganku. Aku teringat satu hal, seorang anak dalam masa perkembangnya sangat membutuhkan yang namanya Role Model. Barangkali, saat sedang berpidato, Pak Kepala sekolah dengan tidak sengaja melirik kami, lalu di dalam otak terjadi proses penyatuan informasi, lalu terucaplah kata-kata itu. Siapa lagi yang dapat dijadikan Role Model pada saat seperti ini kecuali kami yang tampak berbeda dengan jas almamater, meskipun wajah sembrawut belum mandi, dan masih tersisa aroma badan 3 hari yang lalu, barang kali itu yang terpikirkan. Yup, di sanalah kami, berdiri dengan lebih membusungkan dada dan kepala sedikit tengadah.

Jika benar harus menjadi seorang Role Model, rasanya aku jadi bergidik. Aku? Menjadi Role Model? Dengan segala "kebusukan" hidupku rasanya tidak layak aku menjadi Role Model. Bagaimana seandainya nanti saat aku berkeluarga? Atau saat menjadi seorang dokter? Sebelum saat itu datang dan memaksaku masuk sebagai Role Model, maka sebaiknyalah aku mempersiapkan diri dari sekarang.

Kembali ke topik tulisanku, kemerdekaan tidak semata-mata upacara bendera. Merayakan kemerdekaan tanpa melakukan upacara bendera rasanya juga suatu kehambaran. Kemerdekaan tanpa perasaan untuk merdeka, dan menjalani hidup yang memerdekakan, adalah penipuan di atas kebodohan. Kita tertipu dengan kata "merdeka". Kita jadi mudah tertipu karena kita bodoh. Jadi, perayaan yang kita rayakan sekarang ini (dan mungkin perayaan sebelumnya) itu hanya perayaan untuk moment tahun 1945. Kapan kita akan merayakan kemerdekaan kita yang benar-benar untuk tahun 2011? 

Atau mungkin akan semakin banyak yang skeptis dan mengatakan : kalau sudah merasa merdeka baru saya ikut merayakan kemerdekaan Indonesia. Hmmm....
Yang manapun pilihanmu, tetaplah teruskan estafet perjuangan para buyut kita yang telah lebih dahulu berjuang di tanah air kita ini. Seandainya mereka hadir dalam perayaan upacara hari ini, dengan gagah mereka pasti akan berkata : SELAMAT HARI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.

Bagaimana kisah kemerdekaanmu hari ini?



: Ini dia detik-detik pengibaran Sang Merah Putih. Ada yang liat seragam dengan corak berbeda dan sedikit asap "toxic" muncul di sekitar bajunya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HAPPY COMMENT...