Halaman

11.08.2011

Bali Bertahan Untuk Siapa?

Tema ngobrol santai di stasiun Dewata TV beberapa waktu lalu mungkin bagi kebanyakan orang sangat biasa. Isi obrolannya mengenai "masyarakat Bali harus menjaga kelestarian alam dan budayanya supaya Turis-turis mancanegara tetap langgeng datang ke Bali". Tema obralan seperti ini tentu sering didengarkan. Pertimbangan dari sisi bisnisnya begini : Turis-Turis itu datang ke Bali sebagian besar untuk menikmati panorama alam dan tradisi yang sedang berlangsung di Bali. Mempertahankan alam dan tradisi berarti mempertahankan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. Korelasi yang sederhana.


Jargon mempertahankan kelestarian alam dan tradisi sebenarnya tidak sekedar masalah banyaknya wisatawan yang akan berkunjung ke Bali. Karena situasi yang sedang beruntung saja, Bali menjadi salah satu Pulau destinasi mancanegara, dan uang menjadi faktor penting dalam setiap lika-liku kehidupan di Bali (bukan berarti uang tidak penting pada masyarakat di Pulau-pulau lainnya). Kelestarian alam dan budaya sebaiknya juga dipandang sebagai kelestarian terhadap identitas sebagai orang Bali. Yang namanya orang Bali itu semestinya orang yang turut menjaga kelanggengan alamnya (baik itu Pura sebagai icon Bali, sungai, tanah, laut, dan semuamuamuanya) serta tradisinya yang kaya. Tidak serta merta orang yang tinggal dan lahir di Bali bisa menyandang gelar orang Bali. Siapa tahu hanya sekedar numpang hidup dan bernafas di Bali saja.
Berkaitan dengan uang dan perputaran perekonomian di Bali serta korelasinya dengan kelestarian alam dan budaya, ada hal yang membuat aku berpikir : ada kecurangan di sini.

Di mana kecurangannya?

Pada saat dahulu Bali menjadi Pulau yang hanya dihuni orang Bali dan "dimiliki" orang Bali, maka perputaran uang akan tertutup pada masyarakat Bali. Artinya, ada harapan setiap orang di Bali akan dapat merasakan uang yang sedang beredar di Bali ini. Bandingkan dengan keadaan yang sekarang. Perekonomian sudah mulai terbuka sehingga banyak orang yang berusaha mengadu nasib di Bali. Hal itu wajar di era perekonomian demokrasi dan liberal. Namun, menjadi tidak wajar karena kepemilikan sebagian besar aset-aset wisata atau lokasi-lokasi perekonomian bukan oleh orang Bali. Berhubung aku mulai sering berjalan-jalan di daerah Nusa Dua, aku bisa katakan lebih dari setengah villa dan hotel yang bertengger di bumi Bali adalah milik orang asing, baik asing domistik atau mancanegara.

Kepemilikan yang sebagian besar adalah orang asing berarti juga sebagian besar uang yang "harusnya" beredar di Bali tersedot ke luar.

Tapi kita juga mendapatkan uang dari Pajak dan Lapangan kerja.

Betul sekali. Itu yang masyarakat harapkan dari adanya investor-investor villa dan segala tetek bengeknya. Pegang dulu pemikiran itu, lalu coba pertimbangkan ini : dari 10 koin emas, berapa yang akan diberikan bagi pemilik dan berapa untuk karyawan serta pajak? Kita anggap saja 4 koin untuk pemilik dan 6 koin untuk tetek bengeknya. Empat koin itu untuk dinikmati kalangan kecil, sedangkan yang 6 koin dinikmati banyak orang yang terbagi-bagi kecil. Belum lagi adanya korupsi, kolusi dan segala sikut menyikut untuk memperebutkan 6 koin itu. Bisa dibayangkan, berapa koin yang "mungkin" untuk dinikmati orang bali yang tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan?
Setiap kali uang dari turis-turis mancanegara masuk dalam sirkulasi perekonomian di Bali, maka prinsip 4:6 itu akan berputar. Masyarakat merasa sudah mendapatkan "keuntungan" dari sistem perekonomian itu. Kenyataannya, masyarakat sedang dibodohi supaya bekerja lebih keras demi kekayaan segelintir orang. Hebatnya, yang kaya itu jarang sekali orang Bali. Ohoho... sistem yang keren.


Sekarang, coba korelasikan antara tema obrolan di Dewata TV dengan pola pikir paragraf di atas. Orang Bali dituntut untuk menjaga kelestarian alam dan budayanya untuk menarik turis mancanegara ke Bali sehingga perekonomian di Bali berjalan.  Dengan berjalannya perekonomian di Bali, maka kekayaan ekonomi yang harusnya dinikmati orang Bali akan tergerus masuk ke kantong orang Asing. Itulah mengapa orang Bali masih menjadi pekerja di "rumahya" sendiri. Hanya beberapa orang yang sudah mulai menjadi Tuan di "rumahnya" sendiri. Kalau mendengar kalimat ini, rasanya kok bodoh sekali saat kita menjaga kelestarian alam dan budaya, yang mendapatkan keuntungan besar justru bukan orang Bali.

Supaya tidak terjadi gap dan kenaifan untuk menjaga kelestarian alam dan budaya, perlu juga ditambahkan unsur dari promosi kelestarian itu, yaitu : PENDIDIKAN. Jika memang orang Bali itu belum mampu mandiri dalam berwirausaha, maka ya perlu dicanangkan adalah pendidikan wirausaha. Sudah ada kok orang-orang Bali yang sukses berwiraswasta. Tentu mereka bisa dimintai tolong untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Pendidikan menjadi penting bagi orang-orang Bali supaya tidak dibutakan oleh jargon-jargon yang salah, yang justru hanya upaya "halus" demi mengerok keuntungan.

Aku yakin, saat kelestarian alam dan tradisi Bali dipadukan dengan pendidikan yang tepat, maka segala pengelolaan Bali akan kembali ke tangan orang Bali. Dengan itu, segala lapisan akan bersama-sama memajukan Bali, tidak dengan mudah diintervensi oleh investor lagi. Ya, contohnya Hotel yang di Nusa dua itu, yang pemiliknya buronan Chandra. Bohong besar jika dibilang proyek itu bersih dari intervensi karena sudah jelas-jelas salah. Kasus-kasus seperti ini justru menunjukkan lemahnya orang Bali di mata Investor. Malu kan...

Sumber gambar :
1. http://blog.baliwww.com/wp-content/uploads/2010/06/ndbh.jpg
2. http://www.indiabuzzing.com/wp-content/uploads/black-money-and-corruption4.jpeg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HAPPY COMMENT...